Senin, 01 November 2010

KENYATAAN TAK SEINDAH HARAPAN DAN IMPIAN


     Soeharto
Jenderal Besar
Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto), atau juga
dikenal sebagai Haji Muhammad Soeharto (lahir di Kemusuk, Argomulyo,
Yogyakarta, 8 Juni, 1921 - Jakarta, 27 Januari, 2008[1]) adalah
Presiden Indonesia yang kedua, menggantikan Soekarno. Setelah dirawat
selama sekitar 24 hari di rumah sakit, ia meninggal akibat kegagalan
multifungsi organ di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan pukul 13.10
WIB [1]. Secara informal, "Pak Harto" juga dipakai untuk menyapanya.

Ia mulai menjabat sejak keluarnya Supersemar pada tanggal 12 Maret 1967
sebagai Penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai
Presiden pada tanggal 27 Maret 1968 oleh MPRS.
Soeharto dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988,
1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul
terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan
mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya
sebagai presiden.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam
anak, yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto,
Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala
Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Latar belakang
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan
pasukan kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi
komandan peleton, kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh
Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya
bentrok dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali
kolonialisme di Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan
serangan tiba-tibanya yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949
(lihat Serangan Umum 1 Maret) hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan
ini cenderung ditafsirkan sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia
terhadap pasukan Belanda. Penggagas sebenarnya serangan ini adalah Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja Yogyakarta, Gubernur Militer
serta Menteri Pertahanan.
Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi
Diponegoro Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan
kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad
Yani[rujukan?]. Namun atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia
dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat
(SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat . Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi
komandan penumpasan pemberontakan di Makassar, di bawah komando Kolonel
Alex Kawilarang .
Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando
Mandala yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia
Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik
ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun
1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan
Darat mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang
dilancarkan Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi,
sayap kiri dan sayap kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal
terpenting yang diperoleh Soeharto dari operasi militer ini adalah
perkenalannya dengan Kol. Laut Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny
Murdani yang kemudian tercatat sebagai orang-orang terpenting dan
strategis di tubuh pemerintahannya kelak.
Naik ke kekuasaan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan,
Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan
lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu
Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang
Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang
terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah
Mayor Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto
ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S
itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu
menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang
didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden
Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan
militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera
mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru,
terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri /
Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini
sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa
bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad
yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat
Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari
Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto
untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan
Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden
Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S
(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional
dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia
yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada
Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya
Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro
Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan
kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis
(PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di
Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu
"tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap
minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA
dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian
mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis"
Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer
Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta
mengatakan di 1990 bahwa: "Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi
Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya
kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk
itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul keras pada saat yang
tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State Department’s Bureau
of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama
mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja
tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka
membebaskan sumber daya di militer.
Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia
setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS
pada tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri
mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis,
menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga
memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok dan
menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu
dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua
badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang
dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap
hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka
komunis dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa
hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh
CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim
Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari
Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai
invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena
kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar,
Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga
pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika
Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton
dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang
seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia
oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi
diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama.
Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi
partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah.
Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an.
Soeharto pun kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan
Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka
pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan
nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya
investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa
dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar
artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo
sebagai asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi
dengan melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam
sistem kepartaian.
Meredam oposisi
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal
Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis
teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui
pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di
parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini
adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam
Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk
menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan
kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap
potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak
12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa
ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera
diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi
mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah
kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol
dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun
1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai
isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus
memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan
pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak
lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira
tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis,
yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang
mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan
Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya
reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka.
Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai
kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan
ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat
banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan
Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat
yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat
adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik
ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan
Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi
dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang
tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun
pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena
dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya
dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan
oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia
mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah
PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan
manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect
(menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan
ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi
perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia
akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis
1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami
swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak
dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan
ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga
Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara
Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain
Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai
politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan
berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden
Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh
bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian
dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai
kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi
ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah
"mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan
mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU.
Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada
masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya
karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan
atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi,
sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut
perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul
peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan
politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa,
melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material
tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka
terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang
akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura
yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang
meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat
umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi
tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia
menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli
kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus
memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai
dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui
pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan
mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk
partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada
diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara
partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai
nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan
Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas
koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan
Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor
Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin
yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian
pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah
tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur
menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke
administrasi PBB pada 1999. Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an.
Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini
terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media
Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya.
Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan
negara satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke
tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan
keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia
di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari
kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga
partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar
partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan
pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu)
yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Soeharto turun takhta
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan
Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial
Asia di tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan
Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga
berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai
Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya,
Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk
ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan,
tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung
DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk
menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J.
Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah
terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM.
Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Kasus dugaan korupsi
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal
Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan,
Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk
menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas
setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi
fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan
dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan
jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan
perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa
pemerintahannya.[2]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi
Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa
pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan
(SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan
penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan
yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang
tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan
tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Peninggalan
Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah
banyak mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan
kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat
memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis.
Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga
dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente
Revolucinaria De Timor Leste Independente /partai yang berhaluan
sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka. Hal ini
telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai
kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk
memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan
penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari
kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang
bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia.
Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang
sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari
keluarga miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan
menjadi Wajib Belajar 9 tahun.
Wafat Soeharto
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27
Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan
sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun
setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di
Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek
Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1).
Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers
tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari
2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto
diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8,
Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi
sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah
wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak
menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi
tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat
menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto.
Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto
memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf
Kalla dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas
tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3
menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden
menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden
RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di
Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju
Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari
Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian
dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar